Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Wilayah Pesisir & Jarak Batas Pantai 

0
36

Emelia Kontesa adalah Dosen Fakultas Hukum,  Universitas Bengkulu

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai signifikan menempatkan wilayah pesisir sebagai aset strategis sekaligus zona yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan tekanan pembangunan. Wilayah ini tidak hanya berfungsi sebagai garda terdepan ekosistem bahari, tetapi juga menjadi pusat konsentrasi permukiman, industri pariwisata, dan kegiatan ekonomi maritim.

Akibatnya, terjadi dinamika yang kompleks antara kepentingan publik berupa konservasi dan akses, kepentingan privat berupa investasi dan kepemilikan, serta kepentingan negara berupa keamanan dan tata ruang termasuk degradasi ekosistem yang diakibatkan abrasi pantai.

Permasalahan tersebut nyata tercermin pada kondisi wilayah pesisir Desa Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu Tengah yang mengikis daratan hingga ±3 meter per tahun di beberapa titik, yang berdampak pada hilangnya lahan produktif dan permukiman warga. Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan setelah dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, terjadi kerusakan parah yang menghancurkan kawasan tersebut.

Dalam konteks hukum pertanahan, konflik utama muncul ketika klaim kepemilikan privat berhadapan dengan fungsi wilayah sebagai kawasan lindung dan zona rawan bencana (Presiden RI, 2016). Peraturan yang ada bertujuan menyeimbangkan hak asasi warga negara atas kepemilikan tanah dengan kewajiban negara melindungi lingkungan dan masyarakat dari bahaya. Isu legalitas kepemilikan menjadi sangat krusial, terutama bagi masyarakat yang mendiami kawasan pasang surut atau daratan yang berdekatan langsung dengan batas air laut. Oleh sebab itu, diperlukan telaah mendalam terhadap regulasi yang mengatur boleh atau tidaknya tanah di wilayah pesisir diakui secara legal melalui sertifikat.

Desa Pekik Nyaring terletak di Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Secara geografis, desa ini berada di wilayah pesisir yang langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Lokasi desa berada pada koordinat sekitar 3°40′ LS dan 102°20′ BT . Berdasarkan data terbaru, desa ini dihuni oleh sekitar 2.000 jiwa atau ±500 kepala keluarga, yang sebagian besar bermukim dekat garis pantai dan menjadikan mereka sangat rentan terhadap abrasi yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir .

Prinsip fundamental dalam hukum agraria Indonesia yang bersumber dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) secara tegas menegaskan bahwa objek Hak Atas Tanah adalah tanah daratan. Berangkat dari prinsip ini, lahan di wilayah pesisir yang berada di atas garis air pasang tertinggi pada dasarnya memiliki potensi untuk disertifikatkan. Namun, potensi ini dibatasi secara signifikan karena sifatnya yang strategis, vital, dan berfungsi sebagai kawasan lindung. Batasan yang sangat ketat mengenai pensertifikatan lahan di wilayah pantai ini secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Lebih lanjut, Pasal 5 Ayat (1) Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2016 secara eksplisit membatasi pemberian Sertifikat Hak Atas Tanah pada pantai hanya dapat diizinkan untuk pembangunan yang memiliki fungsi krusial atau yang secara fungsional harus ada di Wilayah Pesisir. Kategori pengecualian yang diizinkan ini sangat sempit, mencakup infrastruktur vital seperti instalasi pertahanan keamanan, fasilitas pelabuhan, menara pengawas keselamatan, dan yang sangat penting dari sudut pandang sosial-budaya, adalah tempat tinggal Masyarakat Hukum Adat atau anggota masyarakat yang secara turun-temurun sudah bertempat tinggal di tempat tersebut (Menteri ATR/BPN, 2016).

Ketentuan ini merefleksikan pengakuan negara terhadap hak-hak komunal tradisional dan berupaya menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan keadilan agraria bagi komunitas asli. Meskipun demikian, pihak pemohon sertifikat harus memenuhi syarat mutlak lainnya, yakni harus terdapat kesesuaian yang jelas dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Jika usulan pembangunan melanggar kategori pengecualian atau tidak sinkron dengan peruntukan ruang yang diatur dalam RTRW, maka permohonan sertifikat wajib ditolak karena dianggap merusak fungsi konservasi dan melanggar fungsi kawasan lindung yang ditetapkan (Leks&Co, 2023).

Status hukum kepemilikan bangunan yang berdiri di atas air laut pasang, seringkali berbentuk konstruksi panggung (rumah apung), memiliki perbedaan yang fundamental dan terpisah dari rezim hukum tanah daratan. Secara yurisprudensi dan peraturan perundang-undangan, perairan (termasuk laut dan zona pasang surut) secara prinsip bukanlah objek Hak Atas Tanah dalam kerangka hukum agraria Indonesia. Air laut dan badan air berada di bawah rezim hukum kelautan.

Oleh karena itu, konsekuensinya adalah bangunan yang didirikan di atas permukaan air laut yaitu di area yang terendam pasang surut tidak dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah (baik SHM, HGB, maupun Hak Pakai) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Upaya penerbitan sertifikat pada wilayah laut dianggap sebagai tindakan hukum yang cacat karena melampaui batas kewenangan agraria daratan dan bertentangan dengan prinsip dasar bahwa laut dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat (Makhmudah, Rahmah, & Haryanti, 2021). Walaupun terdapat beberapa pengecualian yang tertuang dalam Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2016, yang membolehkan pemberian Hak Atas Tanah di perairan pesisir untuk tujuan tertentu, seperti permukiman di atas air bagi masyarakat hukum adat atau kegiatan pariwisata yang strategis, legalitas ini sifatnya sangat terbatas. Batas bidang tanah pada perairan diukur berdasarkan proyeksi fisik dari pondasi bangunan terluar. Untuk pemanfaatan ruang di perairan secara umum, regulasi mengharuskan adanya perizinan dari sektor kelautan, yang dikenal sebagai Izin Pemanfaatan Ruang Laut (IPRL), dan bukan melalui proses sertifikasi hak atas tanah.

Pensertifikatan tanah, bahkan yang telah memenuhi kriteria pengecualian di daratan pesisir, akan secara mutlak terhambat dan tidak dapat diproses jika lokasinya berbenturan dengan Zona Perlindungan Pesisir yang ditetapkan sebagai batas pengaman wajib.

Penetapan Zona Perlindungan ini diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016. Regulasi tersebut mewajibkan bahwa setiap tepian pantai harus menyisakan daratan sepanjang tepiannya dengan jarak minimal 100 (seratus) meter yang diukur dari titik pasang tertinggi air laut ke arah darat (Perpres No. 51/2016).

Area minimal 100 meter ini ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Setempat dan fungsinya sangat esensial. Kawasan ini bertindak sebagai zona penyangga atau buffer zone untuk (1) mitigasi bencana, melindungi masyarakat dari gelombang pasang dan tsunami; (2) konservasi ekosistem, menjaga kelestarian habitat alami pesisir; dan (3) menjamin akses publik, memastikan bahwa pantai tidak diprivatisasi secara total. Karena fungsi utamanya adalah perlindungan maka semua bentuk pembangunan permanen untuk tujuan permukiman, pariwisata komersial, atau industri, dilarang keras di dalam area 100 meter tersebut.

Oleh sebab itu, setiap permohonan sertifikat Hak Atas Tanah yang objek lahannya tumpang tindih dengan Zona Perlindungan Pesisir ini, meskipun secara fisik merupakan daratan, secara hukum akan otomatis batal atau tidak dapat diproses karena melanggar ketentuan tata ruang dan fungsi kawasan lindung.

Berdasarkan analisis hukum normatif terhadap regulasi yang mengatur wilayah pesisir, dapat ditarik kesimpulan komprehensif mengenai status Sertifikat Hak Atas Tanah. Pertama, mengenai tanah di daratan pesisir, perolehan sertifikat sangatlah terbatas dan bersifat pengecualian. Lahan pesisir hanya dapat disertifikatkan untuk tujuan yang diizinkan secara eksplisit oleh Peraturan Menteri ATR/BPN No. 17 Tahun 2016, termasuk kepentingan infrastruktur vital dan pengakuan kepemilikan bagi permukiman masyarakat adat yang sudah turun-temurun ada. Namun, pengecualian ini harus tunduk pada peraturan tata ruang yang lebih tinggi. Kedua, mengenai bangunan yang didirikan di area pasang surut air laut atau di perairan pesisir, secara tegas dinyatakan tidak dapat memiliki Sertifikat Hak Atas Tanah. Wilayah perairan bukanlah objek Hak Atas Tanah, dan legalitas pemanfaatannya diatur melalui izin pemanfaatan ruang laut dari sektor kelautan, bukan melalui rezim sertifikasi agraria.

Keseluruhan proses pensertifikatan ini berada di bawah kendali ketat Zona Perlindungan Pesisir minimal 100 meter dari pasang tertinggi, yang berfungsi sebagai kawasan lindung wajib sesuai Perpres No. 51 Tahun 2016. Dengan demikian, meskipun terdapat celah hukum untuk pengakuan hak di daratan pesisir, fungsi lindung kawasan dan rezim hukum perairan membatasi secara fundamental hak privat atas tanah di sebagian besar wilayah pantai Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here